Monday, April 23, 2007
Renungan Sang Khilaf
Sosok gontai terseok diterpa angin
Timur dan barat selalu berubah
Sujud semu hiasi pagi, siang dan malam
Lalu berjalan kembali pada arah yang menjemukan
Batin merintih haus akan ridho-Nya
Namun nafsu senantiasa menahkodai hampir setiap hembusan nafas
Ketika masih ada detik tersisa untuk merenung
Lonceng hingar pun mengucilkan kekhusuan
Sulit bagi diri untuk melepas belenggu kenistaan
Padahal cahaya itu begitu terasa dekatnya
Namun kenapa wajah ini selalu berpaling
Seolah tersilaukan olehnya
Kumandang seruan menjemput kemenangan
Terdengar jelas namun kubuat samar
Nurani ini gusar akan ulah yang menjadi klise
Batin meronta untuk bergegas menghampiri arah seruan itu bermula
Tapi kaki terasa berat seolah terikat pada lantai yang pekat
Usia ini terus menua namun tubuh makin mengerdil
Seakan sia-sia setiap pelajaran yang tampak di depan mata
Semakin lama semakin hina
Semakin hitam hati dan merah wajah ini
Solat lebih baik daripada tidur
Seruan itu sudah tak akrab lagi di telinga
Mentari pun jengkel akan ulah selimut yang setia menutupi mata
Hingga tak ada beda subuh dengan duha
Sampai kapan ini akan berakhir
Ketika bibir tak pernah basah oleh dzikir
Ketika pikir tak lagi untuk bertafakur
Rumput yang bergoyang pun tak pernah mau menjawabku
Bahkan ketika kuterbenam di dalam padang ilalang
Hanya duri-duri kecil merobek kusam kulitku seolah mengusir
Sudah begitu hinakah aku
Peduli apa aku akan semua ini
Aku akan habiskan waktu yang dengan bengis terus meninggalkanku
Tapi, apakah ini akhir dari sebuah perjalanan
Tidak, masih ada secercah harapan
Dari hati yang senantiasa menunjukkan kehausan
Aku akan coba dan coba lagi
Arahkan wajah pada kiblat yang tak pernah berpindah
Lalu kubenamkan pada sujud yang membungkam
Dan kutolehkan ke kanan dan kiri dengan senyuman
Kan kusediakan waktu untuk kumanjakan hatiku
Biar aku harus terdampar dari jauhnya hingar bingar
Hingga langkah ini semakin lurus meski tidaklah mulus
Jika nanti aku kembali terasing di persimpangan
Dan kembali terlupakan kebingungan
Ku yakin hati ini tetap ada
Dan kelak aku akan kembali lagi pada langkah semula
Tak akan pernah cepat memang aku sampai pada tujuan
Tapi aku akan lebih bersyukur daripada tidak sama sekali
Mungkin air mata ini tak mudah untuk terjatuh
Tapi jika ada saja satu butir yang tertetes
Maka itu adalah buah dari ketulusan nuraniku
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment